Permenaker No. 5 Tahun 2018 Tentang K3 Lingkungan Kerja adalah peraturan resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia yang mengatur secara teknis upaya perlindungan terhadap tenaga kerja dari bahaya di lingkungan kerja. Peraturan ini menggantikan ketentuan lama dan memberikan pedoman lengkap mengenai pengendalian faktor bahaya, pelaksanaan pengukuran, hingga syarat personil yang kompeten di bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Pembukaan
Bagian pembukaan dalam Permenaker No. 5 Tahun 2018 memuat pertimbangan yuridis dan filosofis yang menjadi dasar diterbitkannya regulasi ini. Pembukaan ini juga memuat daftar peraturan yang menjadi rujukan serta mencantumkan otoritas yang menetapkan dan mengundangkannya secara resmi.
Menimbang dan Mengingat
Peraturan ini diterbitkan dengan pertimbangan bahwa lingkungan kerja yang sehat dan aman adalah hak setiap tenaga kerja, dan merupakan tanggung jawab pengusaha untuk menciptakannya. Dalam bagian “Menimbang”, disebutkan bahwa perkembangan teknologi dan jenis pekerjaan menimbulkan potensi bahaya baru, sehingga diperlukan regulasi yang lebih komprehensif dan mutakhir dibandingkan peraturan sebelumnya.
Sementara itu, bagian “Mengingat” memuat dasar hukum yang digunakan dalam penyusunan peraturan ini, antara lain Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta berbagai peraturan pelaksana lainnya. Dengan dasar-dasar hukum tersebut, peraturan ini memiliki legitimasi yang kuat sebagai pedoman nasional dalam pelaksanaan K3 di lingkungan kerja.
Penetapan dan Pengundangan
Permenaker No. 5 Tahun 2018 ini ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia pada tanggal 27 April 2018 di Jakarta. Dalam bagian ini juga disebutkan bahwa peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu setelah dicantumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pengundangan dilakukan oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM sebagai bukti bahwa peraturan ini sah dan wajib dipatuhi oleh seluruh pihak yang berkepentingan. Penetapan dan pengundangan ini merupakan prosedur standar yang menandai keberlakuan formal dari setiap regulasi pemerintah.
BAB I – Ketentuan Umum
Bab I dari Permenaker No. 5 Tahun 2018 memuat dasar-dasar penting berupa definisi istilah, ruang lingkup penerapan peraturan, serta syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam penerapan K3 di lingkungan kerja. Bab ini sangat penting sebagai landasan untuk memahami maksud dari pasal-pasal teknis yang akan dijelaskan di bab-bab selanjutnya.
Pasal 1: Definisi Istilah
Pasal ini menjelaskan berbagai istilah yang digunakan sepanjang peraturan, seperti “lingkungan kerja”, “faktor bahaya”, “Nilai Ambang Batas (NAB)”, dan “Personil K3”. Tujuannya adalah untuk memastikan keseragaman pemahaman terhadap istilah-istilah teknis di bidang K3.
Sebagai contoh, lingkungan kerja dijelaskan sebagai tempat tenaga kerja melakukan kegiatan kerja, baik di dalam ruangan tertutup maupun di area terbuka. NAB diartikan sebagai batas maksimal paparan terhadap faktor bahaya fisika, kimia, atau biologi yang masih dapat diterima tanpa membahayakan kesehatan tenaga kerja. Penjelasan ini sangat penting agar tidak terjadi interpretasi ganda dalam implementasi di lapangan.
Pasal 2: Ruang Lingkup Penerapan
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa peraturan ini berlaku bagi seluruh perusahaan, instansi, atau tempat kerja yang mempekerjakan tenaga kerja dan memiliki potensi bahaya lingkungan. Ini mencakup tempat kerja dengan paparan fisika seperti kebisingan dan radiasi, kimia seperti gas beracun dan debu industri, serta faktor biologi seperti bakteri atau virus.
Penerapan peraturan ini juga menyasar sektor informal apabila ditemukan potensi bahaya yang signifikan terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja. Dengan cakupan luas ini, Permenaker No. 5 Tahun 2018 bertujuan melindungi sebanyak mungkin tenaga kerja dari risiko kesehatan akibat lingkungan kerja yang tidak layak.
Pasal 3: Syarat-Syarat K3 Lingkungan Kerja
Pasal ini menetapkan beberapa persyaratan dasar yang wajib dipenuhi perusahaan. Pertama, pengendalian faktor bahaya harus dilakukan agar tidak melebihi NAB. Kedua, fasilitas higiene dan sanitasi harus disediakan dengan jumlah dan kualitas yang sesuai standar. Ketiga, perusahaan wajib memiliki personil K3 yang kompeten dan bersertifikasi.
Selain itu, pelaksanaan program K3 harus berkelanjutan, termasuk pemantauan berkala terhadap kondisi lingkungan kerja. Jika ditemukan kondisi tidak memenuhi standar, perusahaan harus segera melakukan evaluasi dan tindakan perbaikan. Pasal ini menjadi pilar utama dalam memastikan tempat kerja yang aman dan sehat secara sistemik.
Pasal 4: Tujuan Pelaksanaan K3 Lingkungan Kerja
Pasal ini menegaskan bahwa tujuan utama penerapan peraturan ini adalah untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, aman, dan nyaman. Dengan mengendalikan risiko dan mematuhi ketentuan teknis, perusahaan diharapkan mampu mencegah terjadinya penyakit akibat kerja maupun kecelakaan kerja yang disebabkan oleh faktor lingkungan.
Selain itu, tujuan lainnya adalah mendukung produktivitas kerja yang berkelanjutan. Tempat kerja yang memenuhi standar K3 akan berdampak positif terhadap kesejahteraan tenaga kerja dan efisiensi operasional perusahaan secara keseluruhan. Dengan demikian, K3 bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bagian dari strategi bisnis yang berkelanjutan.
BAB II – Pengukuran dan Pengendalian Lingkungan Kerja
Bab ini menjelaskan secara teknis bagaimana cara melakukan pengukuran terhadap faktor bahaya di lingkungan kerja dan metode pengendaliannya. Pengukuran dan pengendalian ini menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan secara berkala oleh perusahaan guna memastikan lingkungan kerja tetap berada dalam kondisi aman dan sesuai standar K3.
Pasal 5: Pelaksanaan Pengukuran dan Pengendalian
Pasal ini menyatakan bahwa setiap perusahaan wajib melakukan pengukuran dan pengendalian lingkungan kerja terhadap semua faktor bahaya yang mungkin timbul. Kegiatan ini mencakup identifikasi, evaluasi, serta tindakan perbaikan terhadap paparan fisika, kimia, biologi, ergonomi, dan psikologi kerja.
Pengukuran harus dilakukan dengan metode yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Sementara pengendalian dilakukan melalui tahapan yang disesuaikan dengan tingkat risiko, dan dilaksanakan secara berkelanjutan. Pelaksana pengukuran dan pengendalian wajib berasal dari personil yang kompeten dan menggunakan peralatan terkalibrasi.
Pasal 6: Metode Pengukuran
Pasal ini menekankan bahwa metode pengukuran yang digunakan harus sesuai dengan standar nasional atau internasional, seperti SNI (Standar Nasional Indonesia). Jika SNI belum tersedia, maka dapat digunakan metode internasional yang diakui.
Pengukuran harus mencakup semua parameter yang relevan, misalnya tingkat kebisingan, suhu, kelembaban, konsentrasi bahan kimia, serta tingkat paparan mikroorganisme. Hasil pengukuran harus didokumentasikan dan dianalisis untuk menjadi dasar dalam tindakan pengendalian selanjutnya.
Pasal 7: Hirarki Pengendalian
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa pengendalian harus mengikuti urutan prioritas yang dikenal sebagai hirarki pengendalian. Hirarki tersebut mencakup: eliminasi bahaya, substitusi bahan atau proses, rekayasa teknis, administrasi, dan terakhir penggunaan alat pelindung diri (APD).
Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengendalian dilakukan secara efektif dan tidak hanya mengandalkan APD. Sebagai contoh, apabila sebuah proses produksi menimbulkan paparan bahan kimia berbahaya, maka langkah pertama adalah mencoba menghilangkan atau mengganti bahan tersebut dengan yang lebih aman sebelum menetapkan kewajiban penggunaan respirator.
Pasal 8: Ketentuan Khusus untuk Iklim Panas dan Dingin
Pasal ini mengatur tentang pengendalian lingkungan kerja dengan suhu ekstrem. Untuk iklim panas, perusahaan wajib menyediakan ventilasi, pendingin udara, atau pengaturan waktu kerja agar pekerja tidak mengalami heat stress. Sebaliknya, di lingkungan bersuhu dingin, pekerja harus diberikan pakaian pelindung dan tempat kerja harus diatur agar tidak menimbulkan risiko hipotermia.
Pengaturan ini sangat penting bagi pekerja yang berada di lokasi ekstrim seperti dapur industri, gudang beku, tambang bawah tanah, atau tempat terbuka di wilayah tropis. Dengan pengendalian suhu yang tepat, risiko gangguan kesehatan akibat suhu ekstrem dapat ditekan.
Pasal 9: Persyaratan Perizinan dan Pelaporan
Pasal ini menegaskan bahwa perusahaan harus melakukan pelaporan hasil pengukuran dan pengendalian secara periodik kepada instansi pengawas ketenagakerjaan. Selain itu, untuk kegiatan tertentu yang berisiko tinggi, pelaksanaannya harus mendapat persetujuan atau izin dari pihak yang berwenang.
Dokumen pelaporan wajib disimpan sebagai arsip dan bukti bahwa perusahaan telah melakukan pemenuhan terhadap peraturan. Perusahaan yang lalai dalam pelaporan atau tidak memenuhi persyaratan dapat dikenakan sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku.
BAB III – Personil Ahli K3 Lingkungan Kerja
Bab ini mengatur tentang personil yang memiliki kewenangan dan kompetensi dalam melaksanakan pengukuran, evaluasi, dan pengendalian lingkungan kerja. Personil ini disebut sebagai Ahli K3 Lingkungan Kerja, yang harus memiliki kualifikasi tertentu dan bersertifikat dari lembaga yang diakui oleh pemerintah.
Pasal 45: Klasifikasi Ahli K3 Lingkungan Kerja
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa Ahli K3 Lingkungan Kerja diklasifikasikan menjadi tiga jenjang, yaitu Ahli Muda, Ahli Madya, dan Ahli Utama. Masing-masing jenjang memiliki tanggung jawab dan ruang lingkup kerja yang berbeda sesuai tingkat kompetensinya.
Ahli Muda berfokus pada pelaksanaan teknis dan pengumpulan data, sedangkan Ahli Madya memiliki kemampuan analisis dan perencanaan pengendalian. Sementara itu, Ahli Utama bertanggung jawab atas evaluasi strategis, perumusan kebijakan, dan pembinaan teknis kepada jenjang di bawahnya. Pengelompokan ini memungkinkan pengendalian lingkungan kerja dilakukan secara profesional dan terstruktur.
Pasal 46: Persyaratan Kompetensi
Pasal ini menjabarkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon Ahli K3 Lingkungan Kerja. Di antaranya adalah memiliki latar belakang pendidikan yang relevan, mengikuti pelatihan resmi dari instansi yang ditunjuk pemerintah, dan lulus uji kompetensi.
Persyaratan lainnya mencakup pengalaman kerja di bidang K3 serta pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan terkait. Dengan demikian, hanya personil yang benar-benar kompeten yang dapat diakui sebagai Ahli K3 dan bertanggung jawab terhadap keselamatan lingkungan kerja.
Pasal 50–57: Tugas, Wewenang, dan Kode Etik
Rentang pasal ini menjelaskan secara rinci tugas dan tanggung jawab Ahli K3 Lingkungan Kerja. Tugas utamanya meliputi: melakukan identifikasi bahaya, pengukuran faktor risiko, rekomendasi pengendalian, dan pelaporan hasil evaluasi kepada manajemen serta instansi pemerintah.
Ahli K3 juga diberi wewenang untuk menghentikan sementara aktivitas kerja apabila ditemukan kondisi lingkungan kerja yang membahayakan. Dalam menjalankan tugasnya, Ahli K3 wajib mematuhi kode etik profesi, yaitu menjunjung tinggi integritas, objektivitas, dan kerahasiaan data perusahaan.
Pelanggaran terhadap kode etik atau penyalahgunaan kewenangan akan dikenai sanksi, termasuk pencabutan sertifikat kompetensi. Ketentuan ini dibuat agar profesionalisme dalam pelaksanaan K3 lingkungan kerja dapat terjaga dan dapat dipercaya oleh semua pihak.
BAB IV – Pemeriksaan dan Pengujian
Bab ini mengatur ketentuan mengenai pemeriksaan dan pengujian lingkungan kerja yang wajib dilakukan secara berkala. Pemeriksaan dan pengujian ini penting untuk memastikan bahwa faktor-faktor bahaya tetap terkendali dan lingkungan kerja tetap sesuai dengan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Ketentuan dalam bab ini juga mengatur siapa yang berwenang melaksanakan kegiatan tersebut serta bagaimana prosedur pelaporannya.
Pasal 58: Jenis Pemeriksaan dan Pengujian
Pasal ini menetapkan bahwa pemeriksaan dan pengujian dapat terdiri dari empat jenis, yaitu: pemeriksaan pertama (baseline), pemeriksaan berkala, pemeriksaan ulang, dan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan pertama dilakukan saat tempat kerja baru mulai beroperasi atau sebelum digunakan. Pemeriksaan berkala dilakukan secara rutin dalam periode tertentu sesuai ketentuan yang berlaku.
Sementara itu, pemeriksaan ulang dilaksanakan apabila ditemukan ketidaksesuaian atau setelah dilakukan perubahan signifikan di tempat kerja. Pemeriksaan khusus dilakukan saat ada insiden, keluhan pekerja, atau permintaan dari instansi pengawas. Dengan klasifikasi ini, setiap risiko di lingkungan kerja dapat dipantau secara menyeluruh.
Pasal 59: Pelaksana Pemeriksaan
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa pemeriksaan dan pengujian hanya boleh dilakukan oleh personil yang memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan. Pelaksana dapat berasal dari internal perusahaan (jika memiliki unit K3 terakreditasi) atau dari lembaga eksternal yang ditunjuk oleh pemerintah seperti PJK3.
Pelaksana wajib menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi dan mengikuti standar metode pengukuran yang berlaku. Selain itu, hasil pengukuran harus disusun dalam bentuk laporan yang akurat dan objektif. Kualitas pemeriksaan sangat tergantung pada kompetensi pelaksana dan keakuratan alat yang digunakan.
Pasal 60: Dokumentasi dan Pelaporan
Pasal ini mewajibkan perusahaan untuk mendokumentasikan seluruh hasil pemeriksaan dan pengujian dalam bentuk laporan tertulis. Laporan tersebut harus memuat metode, parameter yang diukur, hasil pengukuran, analisis hasil, dan rekomendasi pengendalian bila ditemukan ketidaksesuaian.
Laporan wajib disampaikan kepada pihak manajemen perusahaan dan instansi pengawas ketenagakerjaan. Dokumen ini juga harus disimpan sebagai arsip resmi dan menjadi dasar perencanaan tindakan korektif atau preventif di masa mendatang. Ketepatan dan kelengkapan pelaporan sangat penting untuk menunjukkan kepatuhan terhadap regulasi.
Pasal 61–65: Ketentuan Tambahan Pemeriksaan dan Verifikasi
Rentang pasal ini memberikan penjelasan tambahan mengenai kewajiban verifikasi hasil pengujian oleh pihak pengawas ketenagakerjaan. Jika terdapat keraguan terhadap hasil pengukuran, instansi terkait berhak melakukan pengujian ulang atau audit terhadap laporan yang telah disampaikan.
Selain itu, terdapat ketentuan bahwa jika ditemukan manipulasi data, perusahaan dapat dikenai sanksi administratif hingga pencabutan izin operasional di bidang tertentu. Penguatan fungsi pengawasan ini bertujuan untuk menjaga integritas pelaksanaan K3 dan perlindungan maksimal terhadap tenaga kerja.
BAB V – Pelaporan
Bab ini mengatur kewajiban pelaporan hasil kegiatan pengukuran dan pengendalian lingkungan kerja. Pelaporan ini menjadi salah satu bentuk pertanggungjawaban perusahaan dalam memenuhi standar keselamatan dan kesehatan kerja. Melalui pelaporan yang terstruktur, pemerintah dapat melakukan pengawasan serta evaluasi efektivitas penerapan K3 di tempat kerja.
Pasal 66: Kewajiban Pelaporan Berkala
Pasal ini menyatakan bahwa setiap perusahaan wajib membuat laporan berkala mengenai hasil pengukuran, pemeriksaan, dan pengendalian lingkungan kerja. Laporan ini harus disusun secara sistematis dan memuat data yang akurat, mulai dari jenis faktor bahaya yang diukur hingga rekomendasi perbaikan yang telah atau akan dilakukan.
Pelaporan berkala ini bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan pemantauan terhadap kondisi lingkungan kerja tidak bersifat insidental, tetapi merupakan bagian dari sistem manajemen yang terjadwal. Dengan demikian, setiap perubahan atau perkembangan risiko di tempat kerja dapat terdeteksi lebih dini.
Pasal 67: Format dan Isi Laporan
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa laporan harus memuat informasi yang lengkap dan sesuai format yang ditetapkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Beberapa komponen yang harus ada antara lain: identitas perusahaan, jenis kegiatan, tanggal pemeriksaan, nama pelaksana, metode yang digunakan, hasil pengukuran, analisis hasil, dan tindakan pengendalian.
Format laporan juga harus mencantumkan tanda tangan personil yang bertanggung jawab serta stempel resmi perusahaan. Hal ini bertujuan agar laporan memiliki nilai legalitas dan dapat dijadikan acuan dalam proses audit atau pemeriksaan oleh instansi pengawas.
BAB V – Pelaporan
Pasal 68: Tujuan Pelaporan kepada Instansi Pengawas
Pasal ini menegaskan bahwa laporan hasil pengukuran dan pengendalian lingkungan kerja wajib disampaikan kepada instansi pengawas ketenagakerjaan di wilayah setempat. Tujuannya adalah agar pemerintah dapat memantau secara langsung kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan K3 serta menilai efektivitas tindakan pengendalian yang telah dilakukan.
Pelaporan ini juga menjadi dasar dalam menetapkan langkah pembinaan atau penegakan hukum jika ditemukan pelanggaran. Dengan demikian, pelaporan tidak hanya bersifat administratif, tetapi menjadi bagian penting dalam sistem pengawasan yang lebih luas.
Pasal 69: Waktu dan Frekuensi Pelaporan
Dalam pasal ini disebutkan bahwa pelaporan harus dilakukan secara berkala minimal satu kali dalam satu tahun atau sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan teknis. Jika terdapat perubahan signifikan terhadap kondisi lingkungan kerja, perusahaan wajib menyampaikan laporan tambahan di luar jadwal reguler.
Ketepatan waktu dalam pelaporan sangat penting karena menjadi indikator kedisiplinan perusahaan dalam menjalankan program K3. Keterlambatan atau pengabaian terhadap kewajiban ini dapat menimbulkan risiko hukum dan menurunkan kepercayaan terhadap sistem manajemen K3 perusahaan tersebut.
Pasal 70: Tanggung Jawab Penanggung Jawab Pelaporan
Pasal ini menyatakan bahwa pimpinan perusahaan bertanggung jawab penuh atas kebenaran isi laporan yang disampaikan. Walaupun pelaksanaan pengukuran dan penyusunan laporan dilakukan oleh tim teknis atau pihak ketiga yang kompeten, tanggung jawab hukum tetap berada pada manajemen tertinggi.
Untuk itu, pimpinan perusahaan harus memastikan bahwa pelaporan dilakukan dengan prosedur yang benar dan sesuai dengan pedoman yang berlaku. Penanggung jawab juga wajib menyediakan sumber daya yang diperlukan agar proses pelaporan berjalan lancar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan teknis.
Berikut adalah konten berdasarkan struktur lampiran teknis Permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang K3 Lingkungan Kerja, dengan format H2 dan H3 sesuai permintaan:
Lampiran Permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang K3 Lingkungan Kerja
Lampiran dalam Permenaker No. 5 Tahun 2018 merupakan bagian yang sangat penting karena berisi parameter teknis dan standar yang harus digunakan dalam pengukuran dan pengendalian lingkungan kerja. Terdiri dari 10 kategori faktor bahaya dan acuan pelaksanaan teknis, lampiran ini menjadi pedoman utama dalam memastikan tempat kerja memenuhi syarat K3.
Faktor Fisika
Lampiran mengenai faktor fisika mencakup berbagai kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, seperti suara, suhu, pencahayaan, dan radiasi.
Terdapat standar untuk:
- Iklim kerja, seperti suhu, kelembaban, dan sirkulasi udara.
- Kebisingan, termasuk ambang batas tingkat desibel (dB) untuk paparan harian.
- Getaran, baik getaran seluruh tubuh maupun lokal.
- Pencahayaan, dengan ketentuan tingkat iluminasi minimum sesuai jenis pekerjaan.
- Tekanan udara tinggi/rendah, seperti pada industri penerbangan dan pertambangan.
- Radiasi, termasuk sinar ultraviolet, inframerah, dan pengion.
- Medan elektromagnetik dan gelombang radio, dengan rujukan ke batas aman paparan jangka panjang.
Standar ini membantu perusahaan menentukan kebutuhan pengendalian teknik dan APD yang sesuai.
Faktor Kimia
Lampiran ini mencantumkan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk berbagai zat kimia yang umum ditemukan di lingkungan kerja, seperti:
- Gas berbahaya (CO, NOx, H₂S)
- Uap pelarut (toluena, benzena)
- Partikulat dan debu industri
- Logam berat (merkuri, timbal)
Setiap zat dilengkapi dengan NAB yang dihitung berdasarkan durasi paparan per hari atau per minggu. Pelanggaran terhadap NAB ini dapat menyebabkan efek kesehatan akut maupun kronis bagi pekerja.
Faktor Biologi
Faktor biologi dalam lampiran ini mencakup risiko dari mikroorganisme dan agen biologis lainnya, seperti:
- Bakteri dan virus, termasuk penyebab penyakit menular di rumah sakit atau laboratorium.
- Jamur dan spora, yang sering muncul di tempat lembap seperti ruang arsip atau gudang makanan.
- Produk biologi hasil rekayasa genetika, yang menjadi perhatian di industri bioteknologi.
Lampiran ini juga menekankan pentingnya ventilasi, desinfeksi, dan prosedur kerja aman dalam menangani bahan atau lingkungan yang berpotensi biologis.
Faktor Ergonomi dan Psikologi
Lampiran ini memuat standar ergonomi dan beban kerja mental:
- Standar antropometri, digunakan untuk mendesain alat dan ruang kerja sesuai ukuran tubuh manusia.
- Manual handling, seperti batas berat angkut manual dan teknik angkat aman.
- Pola kerja monoton dan tekanan mental, termasuk evaluasi stres kerja, shift kerja, dan jam kerja berlebihan.
Penerapan ergonomi dan pengendalian faktor psikologis dapat mengurangi cedera akibat postur kerja yang buruk serta meningkatkan kesejahteraan mental pekerja.
Standar Kualitas Udara Dalam Ruang
Lampiran ini memberikan ketentuan untuk:
- Kelembaban relatif (40–70%)
- Konsentrasi CO₂ maksimum (biasanya ≤1000 ppm)
- Jumlah partikel halus (PM2.5, PM10) dalam mikrogram/m³
- Kecepatan aliran udara, untuk memastikan kenyamanan termal
Standar ini berlaku terutama untuk ruang tertutup seperti kantor, ruang kontrol, dan laboratorium. Pemeliharaan kualitas udara dalam ruang mencegah kelelahan, iritasi, dan penurunan konsentrasi.
Metode Uji
Lampiran ini mengacu pada metode pengukuran yang diakui secara nasional dan internasional. Beberapa metode yang disebutkan:
- SNI (Standar Nasional Indonesia)
- NIOSH (National Institute for Occupational Safety and Health)
- ISO dan ACGIH
Pemilihan metode uji harus mempertimbangkan akurasi, kalibrasi alat, serta kompetensi personil yang melaksanakannya. Hal ini bertujuan agar hasil pengukuran valid dan sah digunakan dalam pengambilan keputusan.
Higiene dan Sanitasi
Lampiran ini mengatur ketentuan mengenai fasilitas pendukung di tempat kerja, seperti:
- Toilet, dengan jumlah minimal sesuai jumlah pekerja.
- Tempat cuci tangan, wajib tersedia di area kerja berisiko tinggi.
- Pembuangan limbah dan sampah, harus sesuai prosedur higiene.
- Fasilitas mandi dan ruang ganti, terutama untuk pekerja yang terpapar zat kimia atau biologis.
Fasilitas ini berperan penting dalam pencegahan penularan penyakit dan menjaga kebersihan individu pekerja.
Stiker Peringatan
Lampiran ini memberikan panduan desain dan penggunaan stiker atau tanda peringatan “Tidak Memenuhi Persyaratan K3”. Tanda ini harus ditempel secara jelas di area kerja yang belum memenuhi ketentuan K3 lingkungan kerja.
Tujuan utama stiker ini adalah sebagai peringatan awal bagi pekerja dan pengunjung, serta sebagai pengingat bahwa area tersebut harus segera ditindaklanjuti dengan tindakan pengendalian yang tepat.
BAB VI – Sanksi dan Pencabutan Lisensi
Bab ini mengatur ketentuan mengenai sanksi administratif yang dikenakan kepada perusahaan atau personil apabila melanggar ketentuan dalam Permenaker No. 5 Tahun 2018. Sanksi ini diberlakukan untuk menjamin kepatuhan terhadap regulasi serta memberikan efek jera terhadap pelanggaran yang membahayakan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71: Jenis Sanksi Administratif
Pasal ini menetapkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan peraturan dapat dikenai sanksi administratif berupa:
- Peringatan tertulis
- Pembatasan kegiatan usaha
- Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan
- Pencabutan izin operasional atau lisensi K3
Sanksi dijatuhkan secara bertahap berdasarkan tingkat pelanggaran, mulai dari pelanggaran ringan hingga berat. Mekanisme pemberian sanksi juga harus disertai bukti pelanggaran dan melalui prosedur yang transparan.
Pasal 72: Pelanggaran yang Dikenai Sanksi
Pasal ini merinci jenis pelanggaran yang dapat dikenai sanksi, antara lain:
- Tidak melakukan pengukuran dan pengendalian lingkungan kerja secara berkala
- Menyampaikan laporan yang tidak sesuai fakta
- Menggunakan personil K3 yang tidak kompeten
- Mengabaikan hasil evaluasi dan rekomendasi dari pengawas ketenagakerjaan
- Tidak menyediakan fasilitas higiene dan sanitasi sesuai ketentuan
Setiap pelanggaran dinilai berdasarkan dampaknya terhadap keselamatan pekerja dan potensi terjadinya kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Semakin besar dampaknya, semakin berat sanksi yang diterapkan.
Pasal 73: Pencabutan Lisensi Personil K3
Pasal ini menjelaskan bahwa Ahli K3 Lingkungan Kerja dapat dicabut lisensinya apabila terbukti:
- Melakukan pelanggaran etik berat
- Memberikan laporan yang tidak sesuai kenyataan
- Menyalahgunakan kewenangan atau bersikap tidak profesional
Pencabutan dilakukan oleh lembaga yang berwenang setelah melalui proses verifikasi dan pembuktian. Lisensi yang dicabut tidak dapat digunakan untuk kegiatan profesional, dan pemilik lisensi dapat dilarang untuk mendaftar kembali dalam periode tertentu.